Menaikkan Jenjang Karier

5 Innovative Ways To Advertise Your Web Site

1. Directory Linking
Create a directory of web sites on a specific topic. Give people the option of adding the directory to their web site by linking to it. Put your business advertisement at the top of the director's home
page. This technique will get lots of people to link to your web site and give you free advertising.

2. Bonus Advertising
Do you have a product or service that doesn't sell good? Offer it as a free bonus for someone else's product or service. Get free advertising by placing your web site or business ad on the product or in the product package.

3. Autoresponder Trade
Trade autoresponder ads with other businesses. If both of you send out information with auto-
responders just exchange a small classified ad to put at the bottom or top of each other's
autoresponder message.

4. Tip Line
Start a free tip line. Offer a free daily, weekly, or monthly tip recorded on your voice mail. The tips
should be related to your business. Include your ad for your web site or business at the beginning or end of your message.

5. Content Swap
Exchange content with other web sites and ezines. You could trade articles, top ten lists, etc. Both parties could include a resource box at the end of the content.



10 High-Impact Viral Marketing Strategies

Viral Marketing is allowing people to giveaway and use your free product or service in order to multiply your marketing quickly over the internet. The idea behind viral marketing is that you include your ad with the freebie people giveaway or use. Below are ten high impact viral marketing strategies:

1. Allow people to reprint your articles on their web site, in their e-zine, newsletter, magazine or ebooks. Include your resource box and the option for article reprints at the bottom of each article.

2. Allow people to use any of your freebies as free bonuses for products or services they sell. Include your ad on all your freebies.

3. Allow people to use your online discussion board for their own web site. Some people don't have one. Just include your banner ad at the top of the board.

4. Allow people to sign up for a free web site on your server. Since you are giving away the space, require them to include your banner ad at the top of the site.

5. Allow people to add their link to your free web site directory. Just require that they return a link
back to your web site, advertising your directory.

6. Allow people to provide your free online service to their web site, visitors, or e-zine subscribers.
They could be free e-mail, e-mail consulting, search engine submissions, etc.

7. Allow people to give away your free software. Just include your business advertisement inside the software program.

8. Allow people to give away your free web design graphics, fonts, templates, etc. Just include your ad on them or require people to link directly to your web site.

9. Allow people to place an advertisement in your free ebook if, in exchange, they give away the
ebook to their web visitors or e-zine subscribers.

10. Allow people to give away your free ebook to their visitors. Then, their visitors will also give it
away. This will just continue to spread your ad all over the internet.
Adsense Indonesia
#Membangun Mentalitas Pembelajar#

Kenalan saya melakukan upaya hebat dari psikolog social manapun yang saya kenal. Ia mendapat tugas untuk menaikkan tingkat kebersihan gaya hidup para Karyawannya. Riset dilakukan ke rumah-rumah karyawan dan upayanya kemudian berkisar antara pembersihan rambut, dapur di rumah, pakaian para Karyawan dan banyak hal lain yang menyangkut gaya hidup karyawan secara keseluruhan.
Upaya pembelajaran itu juga tertular ke rumah-rumah karyawan dan akhirnya membuahkan hasil yang sangat signifikan bagi pabrik. “Tidak mudah mengubah cara hidup, persepsi dan nilai individu. Namun bila melihat hasilnya, kita tak akan mundur. Kita akan terus berusaha melakukan pembelajaran, karena peningkatan harkat hidup merupakan keindahan yang tidak ada duanya.” Demikian komentar teman saya itu.
Meskipun pendidikan dan pembelajaran adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan bagai dua sisi dalam satu koin logam, kita sering terjebak pada paradigma yang tidak komplit. Kita sering mengkonotasikan tidak lancarnya pendidikan dengan gaji guru yang kurang, sekolah yang kurang dana, sekolah yang rubuh, ataupun kurikulum yang cenderung tidak berubah. Sementara proses pembelajaran sering tertinggal dan tidak didalami.
Kita pasti bisa mengenali betapa banyaknya hambatan yang menyebabkan proses pembelajaran tidak berjalan lancer dan betapa kita sering menutup mata pada keluarnya. Kita sering tidak mempelajari “kondisi lapangan” beserta kompleksitasnya sehingga kita tidak tahu apakah pembelajaran “kena” atau tidak. Belum lagi, kesempatan “benchmark” atau “studi banding”sering tidak dimanfaatkan betul sebagai “pelajaran”. Kita pasti sadar betapa sering kita membuang muka, dan pura-pura tidak tahu mengenai kesalahan pemahaman, persepsi, ketidakjelasan dalam proses pembelajaran yang tidak kita benahi sampai tuntas. Bahkan, hal yang paling mudah dipersalahkan adalah programnya, pelatih, guru atau dosennya, atau sekalian saja lembaganya.
Ketika Peter Senge (1990) mengeluarkan bukunya Fifth Discipline banyak organisasi terhenyak dan menyadari betapa mereka hanya berkonsentrasi pada upaya mengajar tetapi tidak berfokus pada pembelajaran. Kita pun, di negara tercinta ini juga terhenyak bila melihat bahwa pembelajaran yang kita hasilkan sesudah merdeka ini kalah dengan negara tetangga yang pernah mengimpor guru dan dosen dari Indonesia. Kita sangat menyadari bahwa sebenarnya pembelajaran, yang tidak selamanya merupakan hasil dari sekolah dan universitas, banyak gagal ketika kita tahu bahwa mayoritas penduduk masih mau menelan nilai-nilai yang tidak produktif dan positif, serta “awareness” yang kurang terhadap kemanusiaan, lingkungan, moral yang pada akhirnya membawa perlambatan pembelajaran, kalau tidak sampai pada pembodohan.
Peter Senge berpendapat bahwa pembelajaran terjadi bila individu secara teratur diberi ruang untuk menemukan dan mengkreasikan realitas yang dihadapi atau dipelajarinya. Dengan demikian, individu dalam setiap tahapan menjadi manusia yang baru, bisa melakukan, memahami atau menghayati sesuatu yang sebelumnya belum dialaminya, bisa mempunyai persepsi yang berbeda terhadap realita yang dihadapinya, dan menjadi bagian dari terbentuknya generasi yang punya paradigma baru.
Untuk menjadikan sebuah organisasi atau bahkan Negara pembelajar, kita memang perlu meninjau dan membangun kembali beberapa aspek sikap mental. Hal-hal ini perlu kita tekuni dan yakini dengan penuh kesabaran, sehingga menjadi sebuah kumpulan keyakinan dan obsesi kita.
Jangan Meraba-rabaSecara “back to basic” marilah kita tinjau sikap kita mengenai akurasi dan presisi. Kita perlu belajar untuk tidak asal cuap, ngawur, atau mengira-ngira data dan fakta yang sebenarnya bisa dicari dan dibuktikan. Sudah banyak contoh membuktikan bahwa ketidakakuratan dalam pencarian fakta menyebabkan Negara rugi bermilyar-milyar dollar AS. Dan, karena mayoritas masyarakat sudah terbiasa hidup dalam ketidakakuratan, menyukai “plesetan”, tidak ada pihak tertentu yang terobsesi untuk memperoleh data yang benar.
Eksperimen dan Riset Tidak Selalu di LaboratoriumDari seorang eksekutif yang berhasil, saya belajar bahwa dalam kegiatan sehari-harinya ia banyak memberi judul “riset” atau “eksperimen” terhadap kegiatan-kegiatan “mencari tahunya”. Misalnya, “saya sedang meriset, kamera mana yang paling baik dibeli Canon atau Nikon” atau “saya sedang melakukan eksperimen, apa efeknya kalau saya makan sawi saja selama seminggu”. Tanpa disadari, eksekutif ini melakukan pembelajaran yang sistematis dan meningkatkan kesadarannya dalam memperoleh pengetahuan baru. Ini sangat berguna bagi kita yang memang selalu harus memperluas cakrawala, mendapat ide-ide baru melalui kesulitan dan kesempatan yang kita alami.
Belajar di mana Saja, Pada Siapa SajaDalam budaya paternalistik yang kita pegang, paradigma bahwa otoritas adalah yang paling tahu, paling bijak dan paling menguasai masalah, tentunya harus kita hapus cepat-cepat, karena menghambat pembelajaran. Sudah waktunya kita mengerahkan siapa saja untuk belajar dari mana saja dan siapa saja, serta menguakkan, mengadopsi, menganalisa, menemukan persepsi dari sisi lain “best practice” dalam implementasi, penyelesaian pekerjaan, sikap kerja. Best Practice yang sangat bisa kita tiru adalah banyak organisasi yang kini komit untuk menerapkan system “lesson learnt”, di mana kesalahan dan perbaikan system akan disebarluaskan ke seluruh organisasi dan diperlakukan sebagai studi kasus, sehingga setiap individu yang tidak mengalaminya akan belajar dari kejadian ini juga. Beberapa organisasi menyebutkan kegiatan ini sebagai “Santayana Review” yang berasal dari ahli filsafat George Santayana yang pernah menyatakan: “Those who cannot remember the past are condemned to repeat it”.Kita juga bisa belajar kembali, bagaimana mengambil keputusan, menggali pendapat dan masukan orang lain, apakah bawahan, atasan, para ahli bahkan para remaja. Pengetahuan sudah bukan milik elite tertentu lagi. Kita bodoh kalau menghambat tersebarnya segala macam pengetahuan di organisasi kita. Tentunya cara yang “friendly” untuk menyebarkannya perlu dicari dan disesuaikan dengan situasi massanya.
#Kebugaran Kognitif#
Bila kita mencari kesamaan antara Alan Greenspan, Warren Buffet, Sumner Redstone, Kartini Mulyadi, dan Emil Salim, maka dengan mudah kita akan mengatakan bahwa kelima tokoh ini sama-sama berusia 70-an. Kesamaan lain yang sesungguhnya paling menarik adalah bahwa kesemua tokoh ini masih berada pada puncak kekuatan intelektual diusia yang tidak bisa dikatakan senja lagi ini. Berada bersama dengan Emil Salim, kita yang masih muda-muda akan merasa kikuk karena ketajaman intelektual beliau sangat terlihat ketika membahas, mengingat-ingat, dan menerangkan suatu isu. Ini menandakan bahwa beliau masih sangat rajin belajar, meng”update”pengetahuan dan beradaptasi. Situasi ini benar-benar bisa mempertanyakan teori tentanng deteriorisasi kecerdasan yang biasanya sudah mulai terjadi mulai usia 45 tahun manusia normal.
Di situasi lain, kita banyak menyaksikan individu yang seolah terlena dengan deteriorisasi intelektualnya dan membiarkan dirinya terjebak pada “kemampuan” intelektual, misalnya,dalam diskusi-diskusi banyak individu yang tidak berusaha menyerap apa yang dikatakan orang lain, seolah-olah yang dibicarakan dan terjadi di luar dirinya adalah pengalaman yang tidak bermanfaatbagi kegiatan berfikirnya. Orang seperti ini tampil sebagai orang yang keras kepala, malas berfikir, dangkal dan tidak progresif. Bayangkan bagaimana jadinya kalau hal ini terjadi pada orang-orang yang produktif dan relative masih muda ? Dunia ini memang penuh dengan masalah dan kesulitan, untuk itulah kita perlu melatih kegiatan piker secara terus-menerus, bagaikan cara pelari marathon dalam menjaga kebugarannya.
Kebugaran Kognitif Tanggung Jawab Individu
Hal yang umum terjadi pada kita adalah bahwa kita tidak selamanya menyadari bahwa bukan saja fisik yang harus dijaga kebugarannya, tetapi daya pikir dan emosipun perlu dipelihara dan ditumbuhkan. Tidak seperti banyak hal yang bisa kita serahkan pada asisten, pembantu rumah tangga atau pada bawahan, mengembangkan, menumbuhkan daya pikir dan menjaga kebugaran mental perlu kita upayakan sendiri, agar otak tidak kaku dan mampu menanggung beban yang berat.
Banyak situasi di mana individu tidak menyadari bahwa ia sedang tidak membugarkan daya pikirnya. Individu yang dalam pernyataannya banyak menggunakan kata “selalu”, “sering” dan mudah men”cap”orang dengan kualitas tertentu, bisa dikatakan sedang menggunakan pendekatan “all or none”, alias ekstrim, menggeneralisasikan, menyimpulkan dan meramalkan terlalu cepat dan sering tidak menyadari bahwa ia menggunakan pendekatan yang salah. Tak jarang pula kita menemukan individu yang tidak berupaya mengungkapkan realita dengan tepat, seperti membesar-besarkan angka, tidak menghafal nama orang lain dengan tepat, sampai tidak memelihara upaya untuk bersikap obyektif.
Kita juga mudah menemukan paradigma dan ungkapan seperti:”Saya sudah tua”,”Otak sudah tidak kuat”,”Telmi (telat mikir)”, seolah-olah pernyataan “kalah” pada situasi dan keinginan mengatakan bahwa “otak saya tidak bugar lagi”. Padahal, pikiran positif dan kepedean bahwa kita kuat sangat berpengaruh pada kebugaran pikiran kita, sementara para ahlipun berpendapat bahwa kebugaran mental memengaruhi kebugaran fisik pula. Ahli sejarah berpendapat bahwa usia Winston Churchill sampai 90 tahun bukan berkorelasi dengan kebiasaan menghisap cerutunya, melainkan kegemarannya pada informasi.
Pentingnya Hubungan Interpersonal bagi Kebugaran Mental
Kebugaran mental sebenarnya berasal dari kapasitas dan kebebasan individu untuk mengelola masalah, emosi, situasi sehari-hari dengan daya pikir yang benar. Kemampuan menggunakan daya pikir yang benar ini akan berpengaruh pada kebahagiaan seseorang, sehingga individu akan merasa lebih nyaman, kuat, bebas dan berani menghadapi realita. Hanya dalam kondisi nyamanlah seseorang bisa fokus pada keinginan dan baru bisa memanfaatkan potensi kecerdasannya alias IQ-nya untuk pemecahan masalah.
Tidak seperti kebugaran fisik yang sering membutuhkan acara dan alat-alat khusus, latihan kebugaran mental, untungnya, bisa kita lakukan setiap saat, di mana saja dan dalam situasi apapun. Hal yang mungkin kita tidak sadari adalah bahwa interaksi dan hubungan interpersonal kita berfungsi memperkuat “social support” yang merupakan landasan untuk menjaga kebugaran pikiran. Sepintar dan sehebat apapun kita,bila tidak memiliki hubungan interpersonal yang baik, bisa-bisa kita “end-up” menjadi professor ling-lung. Karenanya, kita bisa membugarkan pikiran kita dengan sengaja menumbuhkembangkan hubungan baik, misalnya melakukan silaturahmi, menolong, aktif berperan dalam organisasi, bercanda dan mengembangkan sense of humor, sehingga kita bisa stay positive, merasa “kaya dan kuat” menahan beban dan menghadapi perubahan.
Lakukan akrobat Mental dengan Sengaja
Kegiatan mengeksplorasi dalam pikiran sering ditangkap salah oleh sebagian orang. Seolah-olah mengeksplorasi memerlukan waktu khusus dan serius. Padahal, kita bisa melakukan eksplorasi dalam setiap kegiatan kita, asalkan kita dengan sengaja menangkap, menyerap, memotret situasi dan menjaganya untuk berada dalam perspektif yang obyektif.
Di samping sudoku, puzzle dan teka-teki silang yang kita kenal sebagai media “sport otak” yang baik, kita juga bisa menjaga “ketajaman” otak dengan meningkatkan rasa ingin tahu dan memberi variasi rangsangan otak. Kegiatan seperti mematikan telepon, TV, computer, dan melakukan “walk about” di sekeliling kita bisa memunculkan ide cemerlang. Kita pun bisa membuat eksperimen-eksperimen kecil sehingga mental kita mengalami stress kecil yang kita sengaja. Perubahanberisiko yang dirancang dengan sengaja dan dimonitor dengan cermat, merupakan “sport mental dan jantung” yang baik. Belajar hal baru, dilakukan kakak saya yang tiga tahun lalu genap berusia 65 tahun, dengan memulai tertatih-tatih belajar bahasa spanyol dari nol. Sekarang ia sudah menikmati liburannya di Spanyol, terutama karena bisa mengobrol dengan penduduk di kampung-kampung dan menemukan hal-hal mengejutkan yang tidak ada di buku-buku.
Kita lihat, kebugaran kognitif ternyata bisa mempengaruhi setiap aspek kepribadian kita baik emosi maupun fisik. Bisa kita bayangkan, bila manusia Indonesia yang mendekati 240 Juta jiwa ini mengembangkan kebugaran kognitif. Bukankah kita bisa menghindari kelesuan, kemalasan, dan kebodohan tanpa ongkos yang besar !!!!!